Jam Kerja
Senin - Sabtu, 07:00 - 15:30 WIB
Telepon
082182955672
HUBUNGI KAMI
VIA WHATSAPP

Buku Atlas Wali Songo

Atlas Wali Songo
Buku Pertama yang Mengungkap
Wali Songo Sebagai Fakta Sejarah
Penulis: Agus Sunyoto

Download

Prakata Penulis
SEJARAWAN M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 menegaskan bahwa penyebaran Islam merupakan salah satu proses yang sangat penting dalam sejarah Indonesia, tapi juga yang paling tidak jelas. Dapat dipastikan bahwa Islam sudah ada di negara bahari Asia Tenggara sejak awal zaman Islam. Sementara itu, berita-berita yang bersumber dari Dinasti Tang tentang kehadiran saudagar-saudagar Tazhi ( Arab) ke Kalingga pada tahun 674 Masehi adalah petunjuk bahwa memang pada masa awal zaman Islam saudagar-saudagar muslim dari Arab sudah masuk wilayah Nusantara.

Semangat penyebaran Islam sendiri dipicu oleh hadits Nabi Muhammad Saw. yang berbunyi, “Ballighû ‘anni walau âyatan,” (sampaikan apa yang dari aku sekalipun satu ayat), yang kiranya telah memberi dorongan kuat bagi saudagarsaudagar Arab pada awal zaman Islam untuk menyebarkan Islam ke Nusantara, yang menurut Wheatley dalam The Golden Kherson ese, jalur perhubungan dagang Arab dengan Nusantara jauh terbangun sebelum Islam. Namun, sampai berabad-abad kemudian sejarah mencatat bahwa agama Islam di Nusantara
lebih banyak dianut oleh penduduk asing asal Cina, Arab, dan Persia.

Pada dasawarsa akhir abad ke-13, Marcopolo yang kembali dari Cina lewat laut melalui Teluk Persia, menulis bahwa saat kapal yang ditumpanginya singgah di Negeri Perlak ia melihat penduduk Perlak terbagi atas tiga golongan masyarakat: kaum muslim Cina, kaum muslim Persia- Arab, dan penduduk pribumi yang masih memuja roh-roh. Dalam catatan sejarah juga disebutkan bahwa dalam tujuh kali muhibahnya ke Nusantara, juru tulis Cheng Ho mencatat, ajaran Islam belum dianut oleh kalangan pribumi.

Ma Huan yang ikut dalam kunjungan Cheng Ho ketujuh pada 1433 mencatat bahwa penduduk yang tinggal di sepanjang pantai utara Jawa terdiri atas tiga golongan: muslim Cina, muslim Persia- Arab, dan pribumi yang masih kafir, memuja roh-roh dan hidup sangat kotor. Itu artinya, sejak hadir di Nusantara pada awal zaman Islam pada tahun 674 M hingga tahun 1433 M–rentang waktu sekitar delapan ratus tahun–agama Islam belum dianut secara besar-besaran oleh penduduk pribumi.

Wali Songo, sekumpulan tokoh penyebar Islam pada perempat akhir abad ke-15 hingga paruh kedua abad ke-16 adalah tonggak terpenting dalam sejarah penyebaran Islam di Jawa dan Nusantara. Dikatakan tonggak terpenting sejarah penyebaran Islam, karena kedatangan saudagar-saudagar muslim sejak tahun 674 M itu ternyata tidak serta merta diikuti oleh penyebaran agama Islam secara massif di kalangan penduduk pribumi, sampai kemunculan para penyebar Islam di Jawa yang dikenal dengan sebutan Wali Songo, yang makam-makamnya sampai saat ini sangat dihormati dan dijadikan peziarahan oleh masyarakat muslim Indonesia.

Dalam Historiograf Jawa disebutkan bahwa pada awal dasawarsa 1440-an telah datang kakak-beradik asal Champa, yang tua bernama Ali Murtolo (Murtadho) dan yang muda bernama Ali Rahmatullah bersama sepupu mereka yang bernama Abu Hurairah ke Jawa. Melalui bibinya, Darawati, yang dipersunting Sri Prabu Kertawijaya Raja Majapahit (1447-1451 M), Ali Rahmatullah diangkat menjadi imam di Surabaya dan kakaknya diangkat menjadi Raja Pandhita di Gresik. Berpangkal dari keluarga asal Champa inilah penyebaran agama Islam berkembang di wilayah Majapahit terutama setelah putra-putra, menantu-menantu, kerabat, dan murid-murid dua orang tokoh kakak-beradik itu berdakwah secara sistematis melalui ‘jaringan’ dakwah yang disebut “ Wali Songo”, yang menurut perkiraan, dibentuk pada pertengahan dasawarsa 1470-an.

Historiograf Jawa, Cirebon, dan Banten menggambarkan tokoh-tokoh Wali Songo dengan berbagai kisah keramat. Masing-masing tokoh dikisahkan memiliki kemampuan suprahuman berupa karomah-karomah yang menakjubkan yang dengan cepat menarik perhatian masyarakat untuk diislamkan. Sementara itu, fakta sejarah menunjukkan bahwa setelah dakwah Islam dijalankan Wali Songo, Islam berkembang sangat pesat di kalangan pribumi. Tome Pires ahli obat-obatan yang menjadi duta Raja Portugal di Cina yang mengunjungi Jawa pada tahun 1515 M dalam buku Suma Oriental yang ditulis di Malaka, mencatat bahwa wilayah di sepanjang pantai utara Jawa dipimpin oleh adipati-adipati muslim, dan fakta yang sama disaksikan oleh A. Pigafetta yang berkunjung ke Jawa pada tahun 1522 M.

Fakta sejarah tentang keberadaan Wali Songo ini patut dicamkan oleh mereka yang mengira bahwa ‘ Islam’ baru masuk ke Nusantara pada tahun 1803 M yang ditandai dengan penyebaran dakwah ‘ Islam’ yang dilakukan tiga orang haji asal Sumatra Barat–Haji Miskin, Haji Sumanik, dan Haji Piabang–pembawa ajaran Wahabi. Sebab, mengingkari keberadaan Wali Songo dari ranah sejarah, tidak saja menolak kebenaran faktual tentang dakwah Islam Nusantara yang sampai saat ini masih dianut oleh sebagian besar masyarakat muslim di Nusantara, melainkan juga mengingkari perubahan sosiokultural-religius yang terjadi pada masa akhir Majapahit pada abad ke-15 yang melahirkan peradaban dan budaya baru yang disebut peradaban dan budaya Islam Nusantara.

Adalah tindakan ahistoris kalau tidak boleh dikatakan naif ketika sekumpulan intelektual membincang tentang Islam Indonesia tanpa menyertakan Wali Songo di dalamnya dengan pertimbangan berbeda paham dan aliran. Fakta ahistoris yang naif itulah yang akan kita temukan ketika membaca Ensiklopedia Islam terbitan Ikhtiar Baru Van Hoeve yang tidak satu kalimat pun menyebut Wali Songo, tokoh-tokoh penyebar Islam pada zaman Wali Songo, khazanah kekayaan budaya Islam zaman Wali Songo seperti karya sastra, seni musik, seni
rupa, seni pertunjukan, seni suara, desain, arsitektur, fi lsafat, tasawuf, hukum, tata negara, etika, ilmu falak, sistem kalender, dan ilmu pengobatan yang lahir dan berkembang pada masa Wali Songo dan sesudahnya.

Fakta tidak dicantumkannya Wali Songo dalam Eksiklopedia Islam terbitan Ikhtiar Baru Van Hoeve itu, mengingatkan penulis pada buku tulisan Sjamsudduha berjudul Walisanga Tak Pernah Ada? Yang berisi asumsi-asumsi argumentatif bahwa yang disebut Wali Songo sebagai sebuah lembaga dakwah yang beranggotakan sembilan orang tokoh wali penyebar Islam di Jawa itu tidak pernah ada. Ini juga mengingatkan penulis pada buku picisan yang jauh dari nilai common sense, apalagi ilmiah, yang secara sistematis disebarluaskan
dalam rangka meng-cleansing paham keberagamaan muslim tradisional yang menganut ahlusunah waljamaah warisan Wali Songo, seperti buku berjudul Mantan Kyai NU Menggugat Tahlilan, Istighosahan, dan Ziarah Para Wali tulisan penganut Wahabi bernama Makhrus Ali dan buku berjudul Buku Putih Kyai NU yang juga tulisan penganut Wahabi bernama Afrochi Abdul Gani.

Ada adagium yang mengatakan bahwa sejarah adalah hasil konstruksi elite pemenang, di mana sejarah adalah cerita kemenangan yang ditulis oleh para pemenang. Artinya, siapa yang memenangkan pergulatan dan pertarungan sosio-kultural-religius akan merekonstruksi sejarah sebagai pemenang. Bertolak dari adagium ini, sewaktu nama-nama tokoh historis Wali Songo beserta karyakaryanya dihapus dari Ensiklopedia Islam oleh golongan minoritas berpaham Wahabi yang belum bisa disebut sebagai pemenang, tentu akan menimbulkan
reaksi bersifat resistensif dari pihak yang belum merasa kalah apalagi tunduk oleh golongan minoritas tersebut.

Dalam konteks itulah, penulis menilai bahwa penerbitan Ensiklopedia Islam oleh penerbit Ikhtiar Baru Van Hoeve dan penerbitan buku-buku picisan adalah bagian dari strategi golongan minoritas untuk meraih kemenangan. Sebab, lewat buku-buku tersebut, tidak saja keberadaan Wali Songo akan dihapus dari sejarah penyebaran Islam di Nusantara, melainkan juga lewat penghujatan dan penistaan terhadap ajaran yang ditinggalkan Wali Songo akan menimbulkan kebencian dan antipati terhadap Islam warisan Wali Songo yang dianut
mayoritas muslim Indonesia.

Penghapusan Wali Songo dari daftar tokoh-tokoh penyebar Islam di Nusantara tidak bisa ditafsirkan lain kecuali merupakan usaha-usaha sistematis dari golongan minoritas yang memiliki akidah dan ideologi Wahabi untuk “membasmi” paham mainstream Islam Nusantara—paham ahlusunnah waljamaah yang secara sosiokultural-religius dianut oleh varian sosial santri, priyayi, dan abangan yang sebagian diwakili oleh golongan Nahdhiyin—dengan cara menghapuskan keberadaan Wali Songo dari konteks sejarah penyebaran dakwah
Islam di Nusantara sehingga ke depan nanti, secara akademis keberadaan Wali Songo beserta ajarannya akan terpinggirkan dari ranah sejarah dan tinggal sekadar menjadi dongeng, mitos, dan legenda.

Sadar akan makna penting keberadaan Wali Songo dalam sejarah dakwah Islam di Nusantara yang sisa-sisa jejaknya masih sangat jelas terlihat sampai saat sekarang ini, dengan berpedoman pada sabda Rasulullah Saw., “Qul alhaqq walau kâna murran!” yang bermakna ‘Sampaikan kebenaran sekalipun itu pahit,’ penulis dengan dana yang sangat terbatas terjun ke lapangan untuk meneliti sejarah dakwah Islam Wali Songo untuk memberi perimbangan bagi Ensiklopedia Islam terbitan Ikhtiar Baru Van Hoeve yang dengan cara sistematis
telah berusaha menyingkirkan tokoh-tokoh penyebar Islam abad ke-15 dan ke-16 yang berjasa dalam proses pengislaman Nusantara tersebut. Dalam keserbaterbatasan penelitian ini, penulis sampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang secara langsung maupun tidak langsung telah membantu penerbitan hasil penelitian ini khususnya KH. Abdul Mu’im DZ, Wasekjen PBNU; KH. Said Aqil Siraj, Ketua Umum Tanfdziyah PBNU; almarhum Bapak T.D. Sudjana dari Keraton Kanoman Cirebon; Kang Ayip Abbas, Pesantren Buntet Cirebon; Prof. Dr. Mundardjito, Bapak Arkeologi Indonesia; sahabat-sahabat PMII Demak dan aktivis KMNU lainnya. Tidak lupa ucapan terima kasih kepada istri penulis, Nurbaidah Hanifah, yang dengan sabar, tawakal, dan penuh pengertian menerima keadaan di mana uang dapur harus sering melayang untuk menutupi biaya penelitian yang sangat besar.

Akhirnya, dengan mengingat wejangan Bapak Bangsa Sang Proklamator Dr. Ir. H. Soekarno yang masyhur disebut Bung Karno, “JAS MERAH – Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah” dan “bangsa yang besar adalah bangsa yang bisa menghargai jasa-jasa pahlawannya,” serta sabda Rasulullah Saw., “Qul alhaqq walau kâna murran,” buku hasil penelitian berjudul Atlas Wali Songo ini penulis persembahkan dengan segala keterbatasan dan ketidaksempurnaan.

Malang, Maret 2012
Agus Sunyoto

Download